Diberdayakan oleh Blogger.

Gabung Yukk

anakgaring On Selasa, 04 Januari 2011

Oleh :Supardi Media


Aku tak pernah berpikir bahwa perjuanganku selama ini, usaha kerasku untuk sekedar mendapat bekal buat menopang hidup di kemudian hari akan segera berakhir hari ini. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana hancurnya hati kedua orang tuaku di sana jika mereka mengetahui apa yang terjadi denganku.
Langkahku tidak lagi penuh semangat seperti beberapa hari yang lalu, ketika menaiki satu demi satu anak tangga yang akan membawaku ke lantai dua gedung megah berlantai empat ini. Aku bahkan merasakan, tiap langkahku seperti hitungan detik yang tersisa bagi orang-orang yang sekarat, yang telah ditunggu sang pencabut nyawa. Aku tidak ingin melebihkan, tapi inilah untuk pertama kalinya aku diserang rasa takut yang luar biasa. Ketakutan akan mimpi-mimpiku yang tak akan pernah menjadi kenyataan, ketakutan akan harapan orang-orang yang kucintai yang tidak bisa aku penuhi dan ketakutan akan perjuangan mereka yang akhirnya akan menjadi sia-sia.

Aku pun menangis dan seolah tak ada rasa malu sedikitpun yang aku rasakan, meskipun orang-orang yang berpapasan denganku melihat dengan penuh tanda tanya. Aku menangis untuk orang tuaku, untuk kerja keras dan tetesan keringat mereka. Aku menangis untuk rasa lelah yang selalu mereka tepis, agar aku, anak mereka, bisa terus mengenyam manisnya pendidikan. Dan sebentar lagi semuanya akan berakhir.
***
Tiga bulan yang lalu…
.
“Akhirnya selesai juga!” Seruku
“Apanya Dit?” Tanya Rian yang saat itu datang berkunjung ke kosku untuk meminjam catatan kuliah.
“Opini, untuk MADING kampus”. Jawabku sambil menyodorkan dua lembar kertas kepadanya. “Baca, terus kasih komentarmu”. Pintaku
Rian mengambil kertas yang aku kasih, kemudian larut sesaat dalam tulisanku. Sesekali ia manggut-manggut tidak jelas, dan akhirnya ketika selesai membaca ia memandangku.
“Gimana?” Tanyaku heran melihat ekspresinya.
“Wah, jangan ditempel deh tulisan ne Hib. Masalahnya ini bisa merusak citra dosen kita, bahkan kampus kita”. Jawab Rian
“Maksudnya”.
“Tulisanmu terlalu berlebihan. Bolehlah kamu tempel, tapi sebaiknya gak usah tulis nama dosennya langsung dalam tulisanmu. Itu sama saja dengan mencoreng muka dosen kita ini. Kamu bisa kan pakai inisialnya saja, kan lebih aman”.
“Tapi aku sudah bosan sob dengan kondisi kampus kita yang dari hari ke hari semakin amburadul. Apalagi dengan sikap dosen-dosen kita yang semau-maunya. Mereka dalam satu semester Cuma masuk dua kali, bahkan ada yang Cuma sekali. Tahu-tahunya mereka ngurus proyek-proyek di luar, bahkan ada yang ngurus bisnis dan ninggalin kewajiban mereka sendiri”.
“Tapi kita kan sudah dewasa sob, kita kuliah tidak sepenuhnya harus bergantung pada dosen. Kita bisa cari bahan kuliah di perpustakaan, di internet”.
“Tapi bukan itu masalahnya sob, mereka kan digaji, kita juga bayar SPP. Itu sama saja mereka makan gaji buta toh?”
“Terserah kamu dah . Yang penting aku dah ingetin kamu, karena aku sohib kamu. Aku takutnya bakal terjadi sesuatu yang gak kita harapkan nantinya?”
“Sudah, nyantai aja. Gak bakalan terjadi apa-apa, tapi oke dah. Aku akan ikuti saranmu. Aku akan pakai inisialnya saja untuk dosen-dosen itu”.
Yah, aku memang bosan dengan kondisi kampusku akhir-akhir ini. Apalagi dosen-dosenku yang semakin hari semakin sok dan semau-maunya. Mereka sibuk dengan proyek di luar, membiarkan mahasiswa terbengkalai. Ada dosen yang asyik dengan urusan bisnis mereka, kemudian tiba-tiba datang dan langsung mengambil nilai kuliah tanpa pernah memberikan satu baris materi yang sekiranya berharga. Ada juga dosen yang seolah tidak sadar kalau mereka sudah bergelar Master atau Doktor. Mereka marah-marah sambil menunjuk mahasiwa dengan tangan kiri, mereka marah karena tugas yang dikumpulkan mahasiswa kepadanya dengan yang dimiliki mahasiswa tidak sama.
Dan yang paling membuatku muak, para mahasiswa hanya diam, tidak berani menunjuk tangan untuk sekedar memberi komentar pada dosen mereka dan lebih memilih untuk duduk manis menjadi anak mama dan robot-robot yang bisa diperlakukan seenaknya. Dan aku, setidaknya berjuang lewat tulisanku.

DOSEN, GAJI BUTA DAN PENJAJAHAN INTELEKTUAL
Kata-kata itu kupilih sebagai judul tulisanku, karena bagiku itu yang paling pas. Dan selama lebih dari dua minggu, tulisanku terpampang di majalah dinding. Aku sendiri tidak yakin apakah tulisanku akan dibaca mahasiswa-mahasiswa kampusku atau tidak, karena memang sehari-hari yang aku perhatikan, majalah dinding tidak begitu menarik lagi bagi mereka.
***

Hari itu hujan, namun untunglah aku sudah sampai di kampus begitu hujan dimuntahkan dari langit. Aku segera menuju kelasku di lantai dua, begitu sampai disana, Rian yang sudah datang duluan menghampiriku dengan rona muka ketakutan.
“Dit, udah cek mading belum?” Tanya Rian
“Belum, soalnya tadi langsung ke sini karena takutnya dah masuk”. Jawabku, “emang ada apa dengan Mading?” tambahku
Adit tidak menjawab pertanyaanku, ia hanya melihatku tanpa mengatakan apapun dan itu membuatku merasa tidak nyaman.
“oh come on Ri, ada apa sebenarnya?”
Rian menarik tanganku, kemudian berkata
“aku tidak tahu harus bilang apa, sebaiknya kamu lihat sendiri!”
Kata-kata Rian semakin membuatku tidak nyaman, serta penasaran. Tapi kemudian aku mengikutinya.
Dan betapa kagetnya aku ketika sampai di depan mading kampus. Sekarang aku mengerti mengapa Rian terlihat begitu ketakutan.
“Aku tahunya tadi pagi ketika sampai di kampus, iseng-iseng aja buat lihat mading. Aku kaget banget pas lihat tulisanmu yang kemarin gak ada disitu, tapi aku mikirnya mungkin pengurus redaksi sudah ganti edisi kemarin dengan edisi baru. Tapi ternyata, ketika aku tanyain pengurus redaksi mading, mereka malah bilang masih cari bahan untuk edisi terbaru sebagai pengganti edisi yang ini. Aku mau kasih tahu kamu, tapi aku bingung Sob gimana caranya. Makanya aku mutusin buat nunggu kamu aja”. Kata-kata Rian seolah membuatku tiba-tiba gusar, ada setitik rasa khawatir yang aku sendiri tidak tahu dari mana datangnya.

Rian yang melihatku hanya terdiam kembali berkata.
“Tapi mungkin saja tulisanmu dicabut oleh orang-orang yang gak terima sama tulisanmu, atau dosen-dosen itu kali. Ha-ha, kena mereka kayaknya Sob!”.
Rian benar, pikirku. Bisa jadi tulisanku dicabut oleh mahasiswa yang tidak senang jika dosen kesayangannya disebarkan keburukannya, atau mungkin barangkali dosen itu sendiri yang mencabutnya. Apalagi mading kampusku tidak terkunci dan akan gampang untuk mengambil atau mencabut isinya.
***
Seminggu berlalu………
Aku sudah melupakan tulisanku yang raib tanpa kabar, aku tidak peduli lagi siapapun yang mengambilnya. Tapi setidaknya, jika tulisan itu dicabut atas dasar merasa tersindir atau bahkan dipermalukan, berarti tulisanku sudah mengenai sasarannya.

Aku melangkah pelan menuju kampus hari ini, udara terasa sejuk, bahkan tidak seperti biasanya. Hari ini terasa nyaman, dan tidak ada sedikitpun tanda akan turun hujan seperti beberapa hari kemarin. Aku baru sampai di perempatan lampu merah ketika sayup-sayup suara loper Koran yang berada beberapa meter dari tempatku.
Aku mendekatinya, dan semakin jelas mendengar apa yang disampaikannya.
“Koran,Koran. Dosen unversitas negeri satu-satunya di daerah kita kerjaannya main-mainin mahasiswa”.
Aku belum menarik kesimpulan apapun dari kata-kata loper Koran itu. Bahkan aku berusaha untuk mencerna kata demi kata baru kemudian aku bisa membuat kemungkinan-kemungkinan.
Tidak! Itu tidak mungkin. Tulisanku hilang, dan…
Aku tidak ingin berpikir macam-macam sebelum melihat isi berita itu. Aku langsung mendekati loper Koran itu dan mencuri lihat judul berita itu.
Ahh… aku menarik nafas lega begitu melihat judul besar berita itu. Itu bukan judul tulisanku. Bahkan jauh berbeda. Aku tidak berniat untuk membaca berita itu, karena aku takut terlambat sampai ke kampus. Tapi tiba-tiba, ketika aku hendak melangkahkan kaki, ada suatu hal yang menarik perhatianku. Kata universitas negeri satu-satunya di daerah kita membuatku berusaha mencerna kembali kemungkinan isi berita itu. Berita itu tentang kampusku, tidak mungkin salah!
Akhirnya aku berbalik, dan mendekati loper Koran itu dan membeli satu Koran jualannya. Sambil melangkah, aku membaca isi berita itu.

Tubuhku merinding. Kupelotiti tulisan di Koran itu untuk memastikan bahwa salah lihat dan memastikan bahwa mataku tidak normal hari ini. Dan aku salah, mataku ternyata masih normal. Isi berita itu adalah tulisanku. Tidak ada yang berbeda, kata-kata bahkan titik komanya sama, kecuali satu hal. Tidak ada inisial dosen di sana, malah nama lengkap dosen-dosen itu dicetak tebal di sana.
Tak ada lagi udara yang sejuk, tak ada lagi kenyamanan yang luar biasa seperti yang kurasakan beberapa menit lalu. Bahkan mendung, yang aku yakini tak akan muncul seolah tiba-tiba datang menggelayutiku.
***

Ruangan ini seolah membuatku mati rasa. Desah nafasku seolah adalah sisa-sisa nafas terakhirku. Aku merasakan kekakuan yang luar biasa.
Orang yang kini ada di depanku tak ubahnya monster yang telah siap menghabisiku. Ia tersenyum sinis, dan membuatku bergidik ngeri.
“Jadi anda senang melakukan itu semua hah?! Ia membentakku, dan aku hanya bisa tertunduk tak berdaya. “Semoga ini bisa membuat anda sadar untuk tidak lagi mencoba menjadi pahlawan kesiangan, dan tidak lagi mengurus hal-hal yang bukan urusan anda”. Tambahnya seraya melempar sebuah amplop putih ke arahku.
Aku mengambil amplop itu. Dengan tubuh gemetaran, kubuka dan kemudian kubaca kata demi kata isi surat dalam amplop itu.
Aku tak perlu lagi mengerahkan sisa-sisa semangat hidupku untuk membaca isi surat itu sekali lagi. Yang aku tahu, ada mendung hitam di atas sana, dan aku merasa ada bagian yang hilang dari diriku.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments