Diberdayakan oleh Blogger.

Gabung Yukk

anakgaring On Selasa, 04 Januari 2011

Pada Malam Kesembilan
Oleh : Ramli

Dua wanita muda itu terbatuk-batuk, mata mereka memerah dan terasa perih. Asap dari tungku mengepul mengisi ruang dapur. Salah seorang dari mereka terlihat sibuk dengan perapian itu, ia kibas-kibaskan sebuah anyaman bambu selebar dua telapak tangannya. Lalu api menjilat-jilati bagian bawah panic berisi air di atas tungku itu. Nafas Imah tak lagi sesak, asap-asap itu berlalu tergerus angin pagi yang masih terasa segar di luar. Sedangkan seorang lagi, Niah, wanita yang lebih muda dari Imah kembali sibuk dengan bagian kerjanya.
Beberapa ikat kacang panjang dipotong-potong Niah di atas sebuah landasan kayu. Dan Imah masih di depan tugku. Ruang dapur yang sempit menjadi semakin panas, butir-butir keringat mengalir di pelipis
keduanya, pipi-pipi keduanya semakin ranum nampaknya, terutama Imah yang memang lebh molek dari adiknya itu. Api tungku yang sering padam; mungkin juga memadamkan kesabaran Imah, ia kadang-kadang menggerutu. Niah hanya tersenyum jika melihat kakaknya seperti itu.
“Kenapa senyum-senyum kamu?” Tanya Imah ketus.
“Makanya Mbak, cepat nikah,” jawab Niah.
“ Maksud kamu?”
“ Maksud Niah, biar Mbak tidak usah lagi jaga tungku seperti itu,” jelasnya.
“ Tidak, Mbak masih mau disini, mengurus ibu. Apa kamu mau jaga ibu? Kamu kan kerjaannya cumen au santai-santai saja, kalau tidak dipaksa tidak mau bantuMbak, ya kan?”
Kata-kata kakaknya sepertinya memojokkan dirinya, tetapi Niah tak ernah mau kalah. Dicari-carinya alasan lain biar kakaknya mau cepat menikah, padahal usia kakaknya itu sudah 26 tahun.
“ Tapi besok dengan kamarin, beda, Mbak!”
Imah kemudian memilih untuk diam, tak ingin meladeni adiknya yang terus-terusan memintanya cepatan nikah. Dalam benak Imah sendiri tak pernah terlintas sedikitpun untuk menikah, justru ia ingin melihat adiknya yang terlebih dahulu menikah dari pada dirinya yang masih ingin mengurus ibunya yang sudah renta dan sakit-sakitan mengidap penyakit aneh setelah ayahnya meninggal.
“Mbak itu cantik, masa Mbak tidak mau nikah? Biar tahu pengalamannya, Mbak,” celetuk Niah sambil tersenyum kaku, takut jika Imah tersinggung. Tak berani ia tatap kakaknya. Ia cuci potongan-potongan kacang panjang yang sudah selesai dipotongnya itu.
Suasana dalam dapur kembali menjadi semakin panas dengan celotehan-celotehan Niah. Imah tiba-tiba beringsut dari duduknya. Dipandanginya Niah dengan rasa dongkol yang sangat karena sedari tadi memintanya cepat menikah bahkan hal yang sama sering diutarakan dari kemarin-kemarin. Hati Imah menjadi panas mungkin sepanas tungku yang dijaganya itu. Wajahnya memerah dan basah oleh keringat.
“Apa kamu tidak bisa diam?” bentak Imah lalu meninggalkan adiknya itu sendiri masuk ke dalam kamarnya dan ditutup pintu dengan kerasnya. Niah yang masih berada di dapur terkejut mendengar suara bantingan itu dan ibunya yang terbaring itupun terperanjat pula tetapi perempuan tua itu tak mampu lagi mengeluarkan kata-kat aseperti dulu, melerai kedua putrinya itu.
Niah melanjutkan aktifitas yang masih belum selesai dikerjakan. Ia terus dibayangi sikap kakaknya tadi itu. Ia merasa malu sendiri karena terlalu memaksanya cepat mencari pendamping hidup. Sepertinya semua yang dilakukannya akan sia-sia. Imah tidak bergeming dengan bujukannya. Apakah aku salah jika memintanya cepat menikah? Pikirnya. Sementara tangannya membereskan peralatan dapur yang masih terjejer di atas lantai dapur yang dibentuk dari tanah yang dipadatkan.
Niah berdiri di depan pintu kamar kakaknya, ada keraguan untuk menekui Imah dalam keadaan seperti ini. Diayunkan tangannya pada daun pintu yang tertutup rapat itu, tetapi tiba-tiba tertahan lalu ditariknya kembali. Ditariknya satu nafas panjang, dan dengan penuh keyakinan ia hadapkan seluruh tubuhnya ke pintu kamar itu lalu mengetuknya pelan. Tak ada sahutan dari dalam hanya sayup suara isak yang Niah dengar.
Air mata Imah berlinangan, membasahi pipinya yang merah ranum. Ia tidak habis piker kenapa adiknya begitu ngotot memintanya cepat menikah. Banyak sekali tanya yang kemudian mengerumuni isi kepalanya. “ Apa Niah benci padaku? Oh tidak, pasti bukan karena itu, ia membatin.”
“Mbak….! Mbak Imah! Apa Mbak baik-baik saja?” Suara Niah yang lembut diiringi ketukan pintu yang pelan tak juga membuat Imah menyahut. Seperti kehabisam akal, Niah kemudian membisu dan mematung di depan pintu. Lalu Niah pergi menuju ke halaman depan menikmati sejuk angin pagi dan hangatnya sinar mentari pagi sambil mencari cara untuk meminta maaf pada Imah. Setelah cukup lama menghabiskan waktunya di situ, Niah mendengar gerakan daun pintu yang terbuka. Ia kenal betul suara derakan itu dari maa, tentu dari kamar Imah. Ia kejar suara itu lalu didapatinya Imah berdiri di depan pintu yang menganga lebar. Ata Imah sembab, bulu matanya yang lentik menggumpal basah oleh air mata seperti bulu kuas yang basah oleh cat. Niah mendekati kakaknya itu dengan penuh rasa bersalah, langkahnya pelan dengan tatapan yang sedikit tertunduk. Imah mengusap matanya yang bening dengan jemarinya yang kecil.
Niah masih berdiri di depan Imah tanpa berkata. Lalu Imah mencairkan kebekuan itu.
“Dik, coba adik jelaskan apa maunya adik sebenarnya?” Tanya Imah dengan suara yang sedikit serak. Dan masih Niah tak mampu berkata, ia masih dikuasai rasa bersalahnya. Melihat kakaknya masih menunggu jawab darinya, Niah mencoba beranikan diri menjelaskan semuanya sekarang.
“ Anu, Mbak…,” ia tidak melanjutkan kata-katanya.
“ Ayo dik, jelaskan semuanya sekarang,” pintanya sambil menggapai tangan adiknya.
“Baik, tapi tidak enak kalau kita berdiri,” ucap Niah lalu meminta Imah duduk di atas ranjang bersamanya. Setelah duduk berhadapan dengan perasaan masing-masing, Niah mulai menjelaskan yang sebenarnya.
“Mbak, Niah sebenarnya tidak punya maksud apa-apa meminta Mbak cepat-cepat nikah. Niah cuma ingin melihat Mbak bahagia. Itu saja kok maksud Niah.” Jelasnya singkat.
“ Tapi dik, aku kan masih ingin bersama kamu dan ibu,” katanya. Sekarang keduanya lebih terbuka. Tidak ada kekakuan dalam gaya bicara mereka. Ruang itu kini terasa hangat sehangat udara di luar dengan sinar mentari yang telah meninggi. Mereka kini mau saling mendengarkan.
“Niah takut kalau tetangga bilang Mbak ini perawan tua. Kan aku juga yang tidak terima,” tegas Niah yang terus mendapatkan kesempatan karena Imah hanya diam mendengarkan adiknya bicara. Soal siapa yang akan menjadi pendamping hidup Imah, Niah berjanji dia sendiri yang akan mencarikannya, sebab sampai sekarang belum pernah ada pemuda yang datang bertandang ke rumahnya.
Imah lalu tersenyum pada adiknya, ternyata di balik kecerewetannya itu ada rasa perhatian yang besar pada dirinya. Senyuman Imah terlihat begitu tenang, damai dan indahnya di mata Niah. Mereka berpelukan dan tak terasa di pundak keduanya menetes air mata, air mata yang penuh cinta, air mata yang menyuburkan rasa kasih sayang dalam hati keduanya.
Pekat malam telah melarut, mendinginkan terik siang yang tersisa dan masih dapat tercium mengambang di udara. Tak hanya malam yang melarut, Imah pun terlarut dalam sebuah resepsi ijab-kabul yang ia hidupkan dalam dunia imajinya. Sesekali ia tersenyum penuh girang seperti benar-benar terjadi.
Khayalannya tak hanya menjadi sekedar khayalan saja tetapi berlanjut dalam tidurnya menjadi mimpi. Seorang lelaki, tinggi tegap dengan badan berotot berdiri di sampingnya. Aroma tubuh lelaki itu seperti harum kembang-kembang. Kulitnya putih dan semakin putih dengan setelan pakaian pengantin yang putih-putih pula. Tapi raut wajah lelaki itu tak jelas, begitu samar. Akan tetapi dalam mimpi itu Imah terlihat begitu bahagia. Emari lelaki itu menggenggam tangan Imah begitu eratnya. Semakin lama mimpi itu berlangsung, wajah lelaki itu semakin mengabur seperti gambar yang luntur oleh tetesan air.
Keesokan hari, Imah seperti biasa dengan aktifitas rumah. Imah tidak pernah menganggap mimpinya semalam sebagai sesuatu yang aneh. Mungkin itu hanya sebagai bunga tidur, pikirnya.
Sayup-sayup terdengar suara deruan mesinn di luar rumah lalu terhenti. Seperti tidak begitu asing suara itu. Imah tertegun di depan cermin. Karena sudah begitu sering orang itu berkunjung ke rumahnya bahkan ketika almarhum ayahnya masih hidup. Itu pasti Pak Haris, gumamnya lirih. Imah tahu lelaki gendut berkepala botak dan berkumis itu telah beristri dan berkepala tiga namun masih saja seperti anak muda tingkahnya.
Berbeda denagn Imah, Niah langsung mengahampiri Pak Haris dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Tak lupa lelaki itu membawa buah tangan untuk mereka bertiga. Tiada lain maksud kedatangannya untuk menemui Imah. Otaknya telah diracuni oleh kecantikan Imah dan birahinya akan timbul jika wangi tubuh Imah yang montok menyelinap menusuk hidungnya yang besar dan matanya akan melotot seperti hendak keluar dari kelopaknya.
“Silahkan duduk, Bang. Tunggu sebentar aku panggilkan Imah!” Niah mempersilakan lelaki itu mengambil tempat duduk. Dengan langkah tertahan-tahan Imah mengahampiri lelaki itu. Dengan rasa terpaksa akhirnya ia mau juga menemani lelaki itu duduk di ruang tamu. Imah lebih banyak diam dan sesekali mengangguk mengiyakan kata-kata lelaki tua itu. Alangkah bencinya Imah padanya. Ia sungguh tak betah berlama-lama mendengar rayuan-rayuannya. Andai saja dia seperti lelaki dalam mimpinya itu, tentu Imah akan betah seharian mendengarkan semua tutur katanya dan akan rela dipegang tangannya. Tetapi Pak Haris sangat berbeda, pada jemari tangannya melingkar cincin-cincin bermata besar yang sangat mengerikan dilihat. Cincin itu memang pemberian ayah, tempat ia sering minta petunjuk dan petuah gaib.
Keinginan Imah agar lelaki itu cepat pergi sepertinya terkabulkan oleh Tuhan. Pak Haris kemudian berdiri sambil merapikan dasi belang yang melingkar di lehernya.
“Ya udah kalau begitu sekarang abang pergi dulu. Tapi, apa adik Imah sudah diberi tahu kalau dua minggu lagi abang akan datang melamar Dik Imah?” ucap lelaki itu mantap.
Imah serasa terhipnotis. Ia diam mematung. Jantungnya terasa berhenti berdenyut. Bibirnya yang merah mungil sedikit terbuka. Oh, tidak, ucapnya dalam hati. Lalu Pak Haris pamit dan pergi diiringi Niah dari belakang. Kakinya terasa berat tak mampu digerakkan. Disandarnya kembali tubuhnya yang ramping di atas kursi.
“Oh, Niah teganya kamu menjodohkan aku dengannya,” bisiknya sambil meneteskan air mata.
“Tidak adakah lelaki yang lebih muda, lebih tampan,” lanjutnya sendiri.
Hari ini, Imah lebih suka berdiam diri di dalam kamar. Imah rindu pada belaian kasih sayang ibunya yang sering ia dapatkan dulu ketika perempuan tua itu masih segar bugar. Tapi sayang, wanita yang menjadi teman curhatnya duluu itu kini hanya bisa terbaring. Dan aneh Imah tiba-tiba saja merindukan lelaki putih dalam mimpinya itu. Siapakah dia? Dimanakah dia? Adakah dunia mimpi menjadi dunianya? Imah ingin agar segera saja malam datang melumat siang yang menyesakkan ini.
Imah membaringkan tubuhnya di samping adiknya. Dengan penuh harap, Imah ingin sekali bertemu kembali dengan lelaki putih itu. Seperti telah ditakdirkan, mimpi itu kembali masuk ke dalam tidurnya.
Masih dengan pakaian putih-putih Imah bersama lelaki itu. Tempat mereka kini ada di dalam sebuah taman. Tak ada seorangpun di sana kecuali mereka berdua. Taman itu dikelilingi pohon-pohon kamboja yang tinggi besar dengan bunga-bunga yang memberikan wangi khas. Taman bunga. “Bunga-bunga…oh bunganya begitu banyak,” bisik Imah pada lelaki yang tak jelas rupan wajahnya itu. Lelaki itu tak berkata-kata, hanya memalingkan muka pada Imah dan menganggukkan kepala. Setelah dari taman lalu lelaki putih itu mengajak Imah memasuki sebuah hutan yang gelap. Imah tak dapat melihat apapun dalam pekatnya kegelapan yang menyelimuti hutan itu. Imah hanya bisa melihat dirinya sendiri dan merasakan gaun pengantin yang ia kenakan masih membalut tubuhnya. Dan di sampingnya lelaki itu. Genggaman lelaki itu masih terasa dan wangi tubuhnya masih menyeruak dalam hidung. Tatapi dimanakah kepalanya? Tak kulihat kepala tak berwajah itu. Bulu kuduknya lalu berdiri seiring dengan degupan jantungnya yang semakin keras dan darahnya mengalir begitu deras. Ia ketakutan. Telinga Imah menangkap suara-suara aneh. Imah benar-benar merinding mendengarnya. Mencekam. Ia rangkul tangan lelaki itu. Sedangkan lelaki putih yang kini tak berkepala itu, tak mengeluarkan kata sedikitpun yang bisa menenangkan hatinya. Imah melepaskan tangannya dari tangan lelaki itu kemudian berlari sambil berteriak. Tetapi lelaki itu tak membiarkannya pergi, dikejarnya Imah sampai kembali ke taman bunga itu.
“Mbak Imah, sadar, Mbak!” Niah menggoncang-goncangkan tubuh Imah. Imah tersadar dan didapatinya keringat membasahi tubuhnya. Satu dua tetes keringat masih mengalir di atas keningnya yang landai. Segelas air putih disodorkan Niah lalu diteguknya.
Jam di dinding menunjukkan pukul 2 malam. Tiga jam lagi waktu subuh. Meskipun masih lama tetapi Imah tidaka ingin melanjutkan tidurnya. Ia ngeri, Ia takut pada mimpi itu. Ia tidak menceritakan apapun perihal mimpinya itu pada Niah. Dan ia habiskan waktu itu dengan dibayang-bayangi oleh mimpinya.
Malam berikutnya, Imah tak berani memejamkan mata, ia hanya merebahkan tubuhnya di atas ranjang, dan kali ini ia di samping ibunya. Tapi tanpa disadari ia terlelap juga dan mimpi itu datang kembali. Semakin lama semakin menyeramkan. Hingga pada malam kesembilan, mimpi itu kembali mendatanginya.
Imah kembali bersanding dengan lelaki putih itu. Di atas keduanya ada purnama penuh merah seperti warna darah. Kemudian tempat mereka seluruhnya berwarna merah darah. Lantai tempat mereka berdiri mengalir darah. Cepat-cepat Imah mengangkat gaun pengantinnya tapi sial ujung gaun itu kena juga oleh darah. Lelaki itu membiarkan tubuhnya yang kekar dipeluki Imah yang ketakutan. Bau amis dimana-mana. Kemudian asap mengepul mengisi ruang itu. Asap itu berbau kemenyan dari dupa yang dinyalakan seekor monyet berkepala manusia. Imah sangat ngeri dan jijik melihat semua itu. Suasana menjadi riuh ketika ratusan monyet berkepala manusia memasuki ruang itu. Suara teriakannya mirip dengan suara monyet di hutan. Imah berteriak ketakutan tetapi monyet-monyet itumalah tertawa terkekeh-kekeh padanya.
Dipandanginya monyet-monyet itu dengan penuh jijik. Mata Imah terbuka lebar sebab ada dua wajah yang ia kenal betul. Matanya, alisnya, yang beruban dengan kumis tipis di atas bibirnya yang hitam pucat.
“Itu ayah….,”teriaknya. Tetapi monyet berwajah mirip ayahnya itu tetap diam tak menyahut. Sedangkan monyet yang satu lagi yang ia kenali wajahnya adalah mirip Pak Haris yang ketika dipandanginya hanya mengernyitkan kening. Lalu lelaki yang ada di sampingnya itu tertawa dengan suara yang memekakkan telinga. Suara tertawanya lain dari monyet-monyet yang memenuhi ruang itu. Sempat terdengar suara derakan dari dari bagian ruangan itu. Lalu di dahinya Imah merasakan ada yang mengalir, jatuh dari atas meraka. “Ah…darah,” teriak Imah kembali. Darah itu jatuh dari rembulann yang mengangkangi kepala mereka di atas. Dieratkannya pelukan pada tubuh lelaki itu sehingga ia merasakan betapa deras aliran darah lelaki tak berwajah itu. Lelaki itu menjulurkan lidahnya yang panjang dan menjilati darah membasahi kening Imah.
Seperti telah terbakar birahi darah yang dijilatinya itu. Lelaki itu seperti kesetanan atau mungkin ia memang benar setan. Tangannya mulai meraba-raba. Imah meronta, menggigit tangan lelaiki itu. Tetapi kulit lengan lelaki itu terlalu tebal untuk disakiti dengan gigitan seorang wanita. Imah tanpa henti berontak bahkan dapat sekali menampar wajah tak beraut itu. Tetapi apa lacur, Imah takluk juga. Secepat hembusan nafasnya yang tak teratur, lelaki itu telah menindih tubuhnya yang tak lagi berbusana. Lelaki itu kembali menjulurkan lidah kemudian melumat bibir mungil Imah. Seperti sebuah pertunjukan, aksi lelaki itu disaksikan monyet-monyet berkepala manusia itu dengan air liur yang menetes ke lantai bercampur dengan darah.
Pakaian lelaki itu berlumur darah. Basah. Lumuran darah pada pakaiannya tak semerah darah yang mengalir di lantai lantaran bercampur dengan keringatnya yang mengucur. Tubuh Imah yang telah digagahinya seperti tak ada mengalir darah. Pucat seperti mayat karena darah dalam tubuhnya telah berbaur dengan darah lelaki itu. Tak ada seorangpun yang datang menolong Imah bahkan monyet berwajah mirip ayahnya itu tak bisa berbuat apa-apa. Mata Imah yang hampir terpejam, melihat jelas wajah lelaki itu sedikit demi sedikit terlihat jelas rautnya.
Wajahnya ternyata tak lebih tampan dari wajah Pak Haris, sangat menyeramkan seperti wajah raksasa. Bertaring dan bola matanya besar hampir terlepas. Seluruh tubuhnya ditutupi bulu tebal berwarna putih yang berpendar. Badannya membesar sehingga pakaian yang berlumuran darah itu itu sobek dan copot. Sungguh berbeda dengan wujud manusianya, lelaki itu telah berubah menjadi seekor binatang, tepatnya seekor monyet putih.
“Ahhh…” Imah berteriak untuk terakhir kali sebelum tubuhnya betul-betul menjadi kaku tak bernyawa. Lalu tanpa ragu monyet putih besar itu melemparkan tubuh tak bernyawa itu pada kerumunan monyet-monyet berkepala manusia. Dan monyet-monyet itu menggerayangi dan dan mencabik-cabik mayat Imah hingga tinggal belulangnya saja.
Telah cukup lama Niah mengguncang-guncang tubuh Imah yang sedang terseret arus mimpinya. Saat tersadar, nafas Imah tersengal-sengal yang membuat tubuhnya terangguk hendak roboh. Ada rasa perih dan nyeri di selangkangannya. Ada yang tak beres dengan kemaluannya. Dilihatnya ada darah. Darah mengalir dari kemaluannya.
“Aku telah diperkosa oleh setan itu..!” teriaknya diiringi isak tangis penuh kepiluan. Imah lalu bangkit dari duduknya kemudian berlari mencari tempat berlindung. Ia sepertinya ketakutan dan merasa malu.
Wajah menyeramkan monyet putih dalam mimpinya itu memenuhi matanya, mengisi kepalanya, mungkin juga mengalir dalam darahnya, dan mengaum penuh birahi dalam jiwanya. Lalu wajah monyet itu juga mendatanginya bukan lagi dalam mimpi tetapi dalam dunia nyata. Monyet itu berdiri di dekat pintu, tertawa dan mendekatinya. Imah begitu ketakutan. Ia bersembunyi di balik pintu, lalu di belakang lemari, lalu di bawah ranjang, tetapi tetap saja monyet itu mendekatinya. Lalu muncul monyet kecil berkepala manusia yang mirip dengan wajah ayahnya itu. Imah lalu berdiri berkacak pinggang memaki monyet itu. Dengan kepala tertunduk monyet itu membiarkan Imah memakinya. Dan setelah Imah lelah dengan makiannya, monyet berwajah mirip ayahnya itu berujar dengan pelan dan tersirat penuh penyesalan dalam kata-katanya,
“Maafkan aku, Nak! Ayah telah salah, menjadikanmu tumbal bagi tuanku,” lalu menghilang dibarengi dengan teriakan penuh kemarahan dari Imah.
“Oh…apa yang terjadi dengan Imah?” Tanya Niah pada dirinya sendiri lalu kembali larut dalam tangisnya yang dalam.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments